KEBERLANGSUNGAN
UJIAN NASIONAL DI INDONESIA UNTUK
MASA-MASA YANG AKAN DATANG MENURUT ARGUMENTASI AKADEMIS, POLITIS DAN SOSIAL.
Disusun Oleh:
Riani
Widiastuti
(SMA
NEGERI 4 YOGYAKARTA)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui: Keberlangsungan ujian nasional untuk masa-masa yang akan datang
menurut argumentasi akademis, politis, dan sosial. Cara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
yang basis sosialnya adalah keterlibatan
peneliti dan basis pendidikannya adalah peningkatan. Penelitian tindakan
dilaksanakan sesuai Kurt Lewin (Kemmis dan Mc Taggart, 1982:6), dilaksanakan
dalam 4 langkah yaitu: menyusun suatu rencana untuk suatu pengembangan,
melaksanakan yang telah direncanakan, mengamati efek tindakan, dan merefleksikan
hal-hal yang telah diperoleh. Setiap 4 langkah ini disebut satu putaran
(siklus). Hasil yang diperoleh dalam satu siklus belum sesuai dengan yang
ditargetkan, diulangi lagi dalam siklus berikutnya, dan seterusnya, sampai
siklus ketiga. Hasil yang didapat dari penelitian ini setelah dilakukan
pembelajaran Learning Cycle-5E didapatkan bahwa: Adanya peningkatan aktivitas
belajar atau kinerja siswa dalam tugas–tugas akademik dan peningkatan kemampuan
bertanya siswa. Pada penilaian sikap yang meliputi kerjasama, keterbukaan,
kejujuran, dan tanggung jawab diperoleh hasil baik. Pada penilaian Ulangan
Harian putaran I rata-ratanya adalah 79,7 Untuk persen ketuntasannya adalah
67,7 %. sedangkan pada putaran II, dan III nilai rata-ratanya adalah 83,7; 89,3
untuk persen ketuntasannya adalah 100 %
Abstrak
This
study
aims to determine: Effective use of
learning model-5E learning cycle to
improve the learning activity and the
ability to ask the students of
class XI-IPA. Methods used
in this study is action
research, whose social base is
the involvement of research and education base
is increased. Action
research carried out in accordance
Kurt Lewin (Kemmis
and Mc Taggart,
1982:6), carried out in 4 steps: preparing a plan for
the development, carrying
out planned, to observe the effect of the action, and reflect on the
things that have been obtained.
Each step is
called a 4 round (cycle). The
results obtained in one cycle is
not in accordance with the
targeted, repeated again in the next cycle, and
so on, until the third
cycle. The results obtained from this study after-5E
Learning Cycle found that: There is an increasing activity of learning or student
performance in academic tasks and
increase students' ability to ask. On the assessment of attitudes that include collaboration,
openness, honesty, and responsibility obtained good results. In the
first round of assessment
Deuteronomy Daily average is 79.7 to 67.7% percent
is thoroughness. while
in the second round, and third the average
value is 83.7; 89.3 percent for
its thoroughness is 100%
Kata kunci: Pembelajaran Learning Cycle-5E
PENGANTAR
Pendidikan
merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut
Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses
pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan
pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran.
Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat
pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Dengan
demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak
dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua
bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat
dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap
tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak
tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah
yang, menurut pendapat saya, merupakan bentuk lain dari UAN (Ujian Akhir Nasional). Karena penggunaan kurikulum yang berbeda-beda. Materi ujian adalah
kurikulum Irisan (1994, 2004 dan KTSP) akhirnya
nama UAN diganti menjadi UN. Benarkah UN merupakan alat ukur
yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan?
Dalam hal ini, akan disampaikan sikap saya tentang keberlangsungan UN di Indonesia
untuk masa-masa yang akan, masa-masa yang akan datang disertai dengan
artumentasi akademis, argumentasi politis dan argumentasi sosial.
I. PEMBAHASAN
1. Permasalahan Ujian Nasional (UN)
Sejak diterapkan pada tahun 2003,
Ujian Nasional selalu menjadi isu hangat tahunan. Pelaksanaan UN sebagai
patokan kelulusan siswa menuai kritik berbagai kalangan. Bagi siswa akhir, UN
menjelma jadi momok menakutkan sehingga mendorong timbulnya berbagai perilaku
negatif yang mereka lakukan, mulai dari membawa contekan, mencontek teman,
hingga pergi ke dukun. Ketidaklulusan siswa menjadi persoalan berikutnya yang
cukup serius. Berbagai kasus muncul, mulai dari melampiaskan amarah dengan
membakar sekolah sampai ada yang bunuh diri. Tidak hanya siswa, guru pun juga
terjebak perilaku negatif untuk menyelamatkan nama baik sekolah, dengan
membantu memberikan jawaban pada siswa saat ujian nasional berlangsung.
Kritik terhadap pelaksanaan UN,
terutama pada ditetapkannya hasil UN sebagai salah satu pertimbangan untuk
penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan
berdasarkan Permen No.74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-2010 SD
dan SMP/SMA/SMK. H.A.R. Tilaar (2006) menjelaskan bahwa Ujian Nasional
bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di
mana guru adalah instansi pertama yang berhak mengadakan penilaian atau
evaluasi terhadap hasil belajar peserta didiknya. Sementara Soedijarto (2008)
menjelaskan bahwa UN hanya menanyakan dimensi kognitif mata pelajaran, sehingga
menjadikan peserta didik tidak merasa perlu melakukan eksperimen di
laboratorium, membaca novel, latihan mengarang, dan tidak perlu melakukan
secara terus-menerus dan berdisiplin dalam berbagai kegiatan belajar yang
hakikatnya diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap.
Kritik terhadap pelaksanaan UN
mencapai puncaknya pada pengaduan kepada Mahkamah Agung dan diputuskan
penolakan adanya Ujian Nasional pada November 2009 lalu. Namun keputusan MA
tersebut seakan hanya menjadi angin lalu karena pada tahun 2010 UN masih tetap
berjalan dengan formula dan standar kelulusan seperti tahun sebelumnya. Derasnya kritik terhadap pelaksanaan UN selama ini,
tampaknya membuat pemerintah lebih melunak dalam pelaksanaan UN tahun 2011.
Menghadapi UN tahun 2011, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) mengeluarkan
dua keputusan berupa permendiknas tentang kriteria kelulusan dan pelaksanaan
ujian sekolah dan ujian nasional.
Poin penting yang
terkandung dalam Permendiknas tersebut adalah nilai kelulusan UN tidak semata-mata ditentukan berdasarkan hasil
UN, tetapi juga mengakomodasi nilai sekolah yang diperoleh berdasarkan rata-rata nilai rapor dan
nilai Ujian Sekolah (US). Kelulusan UN ditentukan berdasarkan perolehan Nilai Akhir (NA)
yang merupakan gabungan antara nilai sekolah (pada mata pelajaran yang di-ujinasional-kan dengan
bobot 40%) dan nilai UN (dengan bobot 60%). Dengan demikian, Rumusan UN 2011
yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan = (0,6 x nilai UN) + (0,4 x
nilai sekolah). Adapun rumus Nilai sekolah adalah: 0,6 Nilai Raport + 0,4 Ujian
Sekolah). Nilai sekolah dihitung dari nilai rata-rata ujian sekolah dan nilai
rapor semester 3-5 untuk tiap mata pelajaran UN. Setelah melalui penghitungan
NA, peserta didik dinyatakan lulus UN apabila mencapai rata-rata NA sebesar 5,5
dan tidak boleh ada nilai di bawah 4,0, serta atas dasar musyawarah dewan guru dengan memperhatikan nilai akhlak mulia. Ini artinya,
mata pelajaran tertentu, misalnya Bahasa
Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika, dan IPA untuk jenjang pendidikan SMP, selain diujikan
secara nasional juga diujikan melalui ujian sekolah oleh satuan pendidikan masing-masing.
Formula ini jelas sangat berbeda dengan
kriteria kelulusan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan nilai UN
sebagai satu-satunya penentu kelulusan UN. Formula ini juga menjawab keresahan beberapa
kalangan ketika nasib kelulusan seorang peserta didik hanya ditentukan berdasarkan
perolehan hasil UN yang hanya ditempuh dalam beberapa hari saja itu. Sedangkan,
proses pendidikan yang dilaksanakan peserta didik selama mengikuti aktivitas pembelajaran di tingkat satuan pendidikan terabaikan sama
sekali.
Masalah Ujian Nasional (UN) tiap
tahun selalau ramai dibicarakan, mulai dari persiapan siswa dengan berbagai
bimbingan belajar, orang tua dengan
menyiapkan materi untuk mendukung para putranya, pihak sekolah dengan berbagai
pengayaan dan uji coba UN, pemerintah dengan memberikan materi pokok UN,
masyarakat dengan ketentuan/syarat
pelulusan yang sangat memberatkan.
Ujian Nasional adalah penilaian yang
harus tetap dilakukan oleh pemerintah dalam upaya melihat tingkat pendidikan
kita. Tentang Penilaian Hasil Belajar yang di dalamnya ada Ujian Nasional akan
saya tulis pada tulisan berikutnya.
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
tahun 2013 secara umum tidak lebih baik dibanding tahun lalu. Permasalahan yang
terjadi pada pelaksanaan UN tahun ini diharapkan tidak terulang di tahun
mendatang. Selain itu UN sebagai bentuk evaluasi proses belajar mengajar jangan
dijadikan wacana peserta didik seolah-olah dijadikan tertuduh seperti suka
menyontek.
UN tahun ini kurang berhasil, karena
ada beberapa masalah seperti:
1.
Percetakan dan distribusi soal berakibat pada
penundaan pelaksanaan UN di beberapa provinsi.
2.
Perubahan
jumlah set soal dari 5 paket menjadi 20 paket menjadi faktor kesulitan luar
biasa perusahaan yang memenangkan tender.
3.
Masalah lain yaitu, jumlah pemenang tender tidak
diprediksi. Selayaknya ada penambahan lokasi pencetakan soal di luar Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara sehingga pengiriman soal menjadi lebih mudah.
Jumlah soal sebenarnya ideal tapi
harus diringi kesiapan. Selama 10 tahun
pelaksanaan UN baru kali ini terjadi masalah yang cukup berarti. Permasalahan
muncul dari ketidak siapan dalam pendistribusian soal ujian oleh percetakan
pemenang tender.
2. Konvensi Ujian Nasional
(UN)
Pemerintah baru saja melaksanakan konvensi
pendidikan untuk membahas keberlangsungan Ujian Nasional (UN), bahkan suatu
organisasi swasta tingkat nasional juga melaksanakan konvensi pendidikan untuk
membahas hal yang sama. Kedua momentum ini menunjukkan demikian strategisnya UN
dalam sistem pendidikan nasional kita.
Menurut Wakil Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Kebudayaan Musliar Kasim menyatakan bahwa Ujian
Nasional (UN) tetap akan dilaksanakan sebagai:
1.
sarana mengukur prestasi belajar siswa.
2.
Hasil
UN digunakan untuk pemetaan,
3.
Hasil
UN digunakan sarana seleksi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
4.
Hasil
UN digunakan untuk pembinaan siswa
karena itu untuk meningkatkan kredibilitas
dan reliabilitas UN, perlu dilakukan sejumlah perbaikan. Kelulusan UN
ditentukan berdasarkan rasio 60 % nilai UN dan 40 % nilai sekolah. Komposisi
nilai sekolah terdiri dari 70 % nilai rapor dan 30 % Ujian Sekolah. Batas
kelulusan ini dari tahun ke tahun dinaikkan secara bertahap. Nilai rapor harus
dikirim setiap semester dan pengiriman dilakukan secara online.
Menurut Wamendikbud untuk meningkatkan
kredibilitas dan realibitas UN, ke depan akan dilakukan berbagai perbaikan,
antara lain UN mengukur ranah kognitif yang lebih tinggi ( higher order
thinking), karena itu setiap soal diberi bobot berdasarkan tingkat kesulitan
dan kompleksitas kompetensi yang diukur. Nantinya rasio kelulusan menjadi 100 %
Ujian Sekolah dan 100 % UN. Ini berarti setiap siswa yang akan mengikuti UN
harus lulus Ujian Sekolah terlebih dahulu. Untuk UN yang lebih kredibel dan
reabel, dikembangkan pula peta jalan (roadmap) yang secara komprehensif
mempertimbangkan berbagai aspek. Sedangkan untuk menentukan intervensi
peningkatan mutu yang lebih merata dan berkeadilan, pemanfaatan nilai UN
sebagai dasar intervensi peningkatan mutu pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan perlu segera dilaksanakan.
Untuk menunjang penerimaan siswa baru pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi penggunaan nilai UN sebagai dasar
penerimaan juga segera diterapkan. Konvensi Ujian Nasional
(UN) yang digelar pada hari Kamis tamggal 26 September 2013 dan Jumat 27 September 2013 telah menyepakati bahwa UN tetap
dilaksanakan sebagai sarana untuk mengukur prestasi belajar siswa, sebagaimana
diamanatkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 ( jo PP 32 Tahun 2013)
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Untuk penentuan kisi-kisi UN dan pembuatan soal, akan
melibatkan pendidik dan para ahli dengan mekanisme ditetapkan pemerintah pusat.
Sedangkan penyusunan soal diawasi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Penggandaan dan pencetakan dilakukan di propinsi dengan pengawasan dari
pemerintah pusat dan Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS). Sedangkan pendistribusiannya
dilakukan pemprov dan pemkab/pemkot. Distribusi soal UN dari provinsi ke
kabupaten/kota dilakukan oleh pemprov, sedangkan dari kabupaten/kota ke satuan
pendidikan dilakukan pemkab/pemkot.
Untuk menjamin keamanan dan mencegah kebocoran soal,
pendistribusian melibatkan pihak kepolisian dan PTN/PTS. Penyerahan soalnya
juga disertai berita acara. Sedangkan pengawasan pelaksanaan UN pada tingkat
satuan pendidikan dilakukan oleh Dewan Pendidikan, PTN/PTS dan Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Sementaran pengawasan di ruang ujian
dilakukan oleh guru secara silang. Pemindaian Lembar Jawaban Ujian Nasional
(LJUN) SMA/MA/SMALB/SMK/Paket C dilakukan oleh Perguruan Tinggi,
SMP/MTs/SMPLB/Pakeb B/Wustha dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi, untuk SD/MI/Paket
A/Ula dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Terhadap tindak kecurangan
dalam pelaksanaan UN, harus diikuti sanksi tegas.
3. Sikap dalam keberlangsungan UN
Dalam hal ini, akan disampaikan sikap saya tentang keberlangsungan UN di Indonesia
untuk masa-masa
yang akan datang disertai dengan argumentasi akademis, argumentasi politis dan
argumentasi sosial.
3.1
Argumentasi akademis
Menurut pakar pendidikan dan juga dosen UI
Mas Imam Prasetyo mengatakan bahwa kebijakan pemerintah tentang UN sebagai
satu2nya syarat kelulusan merupakan kebijakan yang salah besar. sebab menurut
UU mendiknas yang bisa menentukan kelulusan adalah pihak sekolah yang
bersangkutan
Menurut beliau yang juga duta pendidikan buat
PBB ini menyatakan bahwa Indonesia belum bisa menerapkan system pendidikan
dengan standarisasi kelulusan seperti UN, sebab sarana dan prasarana yang
menunjang pendidikan belum sepenuhnya terpenuhi. Kita lihat masih banyak
gedung-gedung sekolah yang tidak layak digunakan atau masih kurangnya guru-guru
terutama di daerah. apabila UN ini masih tetap diberlakukan akan mengakibatkan
kecurangan seperti yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. lebih baik
penuhi terlebih dahulu sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan di
Indonesia sebelum sebelum memberikan standarisasi UN.
Pakar dan konsultan pendidikan Munif
Chatib menilai penghapusan ujian nasional sekolah dasar mulai 2014 sejalan
dengan kurikulum baru yang akan diterapkan Juli 2013.
"Dengan penerapan kurikulum pendidikan yang baru, pelaksanaan UN menjadi
tidak penting lagi. Harusnya bukan hanya UN SD yang dihapus, namun untuk
seluruh jenjang". Hal
tersebut diungkapkannya usai peluncuran bukunya yang berjudul "Guardian
Angel", sekaligus wisuda lulusan sekolah yang diberi nama seperti bukunya
itu di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang.
Ia
mengungkapkan sangat mengapresiasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32/2013
tentang Perubahan Atas PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang salah satunya mengatur penghapusan UN SD. Ia menilai penerapan
kurikulum baru sebenarnya menjadi jalan masuk untuk penghapusan UN seluruh
jenjang pendidikan, sebab cara evaluasi pada kurikulum baru menggunakan pola
"authentic assessment".
Menurutnya, sistem evaluasi model
'multiple choice' (pilihan ganda) sebagaimana UN tidak "nyambung"
dengan kurikulum baru sehingga dirinya yakin nantinya UN SMP dan SMA sederajat
juga akan dihapuskan.
"Saya melihat pertimbangan UN bukan masalah akademis lagi karena di
sekolah-sekolah sebenarnya sudah selesai. Namun, ini sudah masuk politik karena
rantainya panjang," kata pria kelahiran Surabaya, 5 Juli 1969 itu.
Munif yang juga salah satu anggota Tim
Penyusun Kurikulum 2013 mengatakan UN memiliki rantai yang sangat panjang,
mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi ibarat "lingkaran setan"
yang susah untuk diputus.
"Kalau UN dihapus, akan ada yang kehilangan
pekerjaan, dan sebagainya. EValuasi belum selesai, sudah direncanakan lagi, dan
seterusnya. Cara memotong lingkaran setan itu ya ubah kurikulum," katanya. Kalaupun UN mau
dipertahankan, kata dia, tujuannya cukup untuk pemetaan kualitas pendidikan di
seluruh wilayah Indonesia, tidak boleh lagi menjadi salah satu syarat kelulusan
seperti sekarang ini.
Melihat pendapat para pakar
saya berpendapat sama kalau UN sebaiknya dihapuskan karena tidak sesuai dengan
kurikulum 2013, selain ada karakteristik siswa setiap daerah berbeda, sarana
dan prasarana pendidikan di beberapa daerah kurang memadai, guru setiap daerah
memiliki perbedaan dalam hal pendapatan.
3.2
Argumentasi politis
Konvensi
Ujian Nasional (UN) yang digelar pada hari Kamis tanggal 26 September 2013 dan
Jumat 27 September 2013 sesungguhnya hanya legitimasi pemerintah untuk
mempertahankan pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), enggan duduk bersama
membahas pro dan kontra UN. Pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa
Darmaningtyas mengatakan, Kemdikbud cukup menyebut Konvensi UN sebagai Seminar
saja. Sebab, tema-tema yang diangkat dalam konvensi menunjukkan pemerintah
ingin membenarkan UN sebagai penentu kelulusan. “Tema-tema yang ada dalam
konvensi hari ini sesungguhnya hanya ingin melegitimasi pelaksaan UN sebagai
penentu kelulusan,” ujar Darmaningtyas saat dihubungi Beritasatu di Jakarta.
Pembukaan
Konvensi UN dihadiri oleh sejumlah pembicara nasional. Seperti Mantan Wakil
Presiden (Wapres Jusuf Kalla yang memaparkan tentang Peran Strategis UN sebagai
Pengendali Mutu Pendidikan, anggota Komisi X DPR Zulfadhli tentang Peran UN
dalam Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah, Ketua Majelis Rektor Idrus
Paturusi tentang Kesesuaian UN sebagai Alat Seleksi Masuk PT, dan pakar
pendidikan Yahya Umar tentang UN yang Kredibel dan Dapat Diterima.
Darmaningtyas
mengatakan, orientasi UN bertolak belakang dengan Kurikulum 2013. Konsep UN
adalah teaching for the test (mengajar untuk ujian), sedangkan konsep Kurikulum
2013 antara lain memuat tentang bertanya, mengeksplorasi, dan mempresentasikan.
Pemerintah
harus konsisten dalam melaksanakan Kurikulum 2013 atau melaksanakan UN. Kalau
mau melaksanakan UN, harus membatalkan Kurikulum 2013, menurut Darmaningtyas.
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh beralasan
Kurikulum 2013 baru diterapkan secara utuh di semua sekolah pada 2016. Oleh karena
itu, pemerintah masih memiliki waktu kurang lebih dua tahun untuk memastikan
apakah UN tetap dipakai atau tidak. UN yang sekarang karena mengikuti kurikulum
lama. Maka kita selesaikan dulu, nanti baru disiapkan bagaimana memakai
kurikulum baru, kata Nuh. Menjawab hal itu, Darmaningtyas mendesak pemerintah
menentukan sikap atas UN mulai dari sekarang. Seharusnya, pemerintah sudah
memiliki disain evaluasi nasional atas Kurikulum 2013.
Putusan
MA
Terkait
putusan MA tentang UN, Mendikbud M. Nuh mengaku sudah menjalankan putusan dan
mengkonsultasikan putusan tersebut dengan Ketua MA terdahulu, yaitu Harifin
Tumpa. MA memerintahkan para tergugat (Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua
Badan Standar Nasional Pendidikan) untuk meningkatkan kualitas guru, meningkatkan
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta meningkatkan akses informasi
sebelum menjalankan kebijakan UN. Terkait hal itu, Nuh menilai pelaksanaan
putusan MA akhirnya bersifat teknis. Menurutnya, sejak MA memutuskan perkara
itu tahun 2007, pemerintah tentu saja sudah melakukan upaya peningkatan
kualitas guru, sarana prasarana sekolah, dan akses informasi. “Putusan MA sudah
kita jalankan. Siapa yang menentukan peningkatan kualitas, apakah LSM, lembaga
riset? Akhirnya dikembalikan kepada pemerintah juga,” tandas Nuh di Jakarta,
Rabu (25/9).
Nuh
mengatakan gugatan primer dalam perkara tersebut ditolak. Dia mengatakan ada
salah satu pertimbangan majelis hakim yang jarang diungkapkan kepada publik.
Intinya menyatakan bahwa majelis setuju konsep UAN/UN bertujuan baik. “Ada atau
tidak ada putusan MA, pemerintah pasti menjalankan putusan itu karena memang
tugas pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, sarana sekolah, dan akses
informasi,” kata Nuh.
Dari
beberapa pendapat politis yang dilontarkan menurut saya: Konsep Kurikulum 2013
antara lain memuat tentang bertanya, mengeksplorasi, dan mempresentasikan,
pemerintah seharusnya sudah memiliki disain evaluasi nasional atas Kurikulum
2013. Karena Kurikulum 2013 sudah dilaksanakan dibeberapa tempat seharusnya UN
dihapuskan. Untuk sekolah yang belum melaksanakan kurikulum 2013 bisa mengikuti
disain evaluasi nasional kurikulum 2013. Jika perlu sekolah yang belum
melaksanakan kurikulum 2013 bisa melaksanakan UN atau Evaluasi sepenuhnya
diserahkan pada satuan pendidikan. Baik seleksi masuk maupun ujian akhir.
Evaluasi sepenuhnya diserahkan pada satuan pendidikan karena karakteristik
siswa setiap daerah berbeda.
3.3. Argumentasi sosial.
Berikut akan dikemukakan beberapa
kritikan, komentar, dan permasalahan tentang UN dan perlu segera dicarikan
solusinya, yaitu:
a. Setiap
kali pelaksanaan UN atau apapun namanya selalu saja ada peserta didik yang
kurang siap, baik fisik maupun mentalnya. Ada yang pingsan ketika mengikuti UN,
ada yang sakit, ada yang stres, bahkan ada pula yang gantung diri, terutama
setelah peserta didik dinyatakan tidak lulus UN. Memang hal seperti ini tidak
dapat digeneralisasikan, karena bersifat kasuistik, tetapi bukan berarti
dibiarkan begitu saja. Maasih ada imej yang negatif dari peserta didik bahwa
seolah-olah UN merupakan sesuatu hal yang menakutkan. Oleh sebab itu,
Pemerintah harus melakukan sosialisasi dengan berbagai pendekatan untuk
menghilangkan imej negatif tersebut sehingga peserta didik menjadi akrab dengan
UN. Bagaimana mungkin UN dapat memberikan motivasi kepada peserta didik, bila
peserta didik selalu diselimuti rasa ketakutan yang berlebihan.
b. Mutu
hasil pendidikan berupa produk cenderung digunakan sebagai indikator
keberhasilan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dalam satu
periode. Padahal, produk berupa angka, peringkat, indeks prestasi, atau hasil
UN dinilai belum bisa memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai mutu
pendidikan. M. Surya dalam Seminar
Nasional pendidikan tanggal 03 Agustus 2008 di GOR Tri Lomba Juang Bandung
mengatakan “kita harus melihat semua anak sebagai peserta didik yang berhak
dinilai mutu pendidikannya dari segi holistik, yaitu kualitas kepribadian dan
kontribusi untuk lingkungan. Bukan menyisihkan mereka yang UN-nya rendah dan
mengistimewakan mereka yang UN-nya tinggi.” Menurut Surya, “dalam konsep yang
lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan
hasil secara menyeluruh”. Dalam konteks hasil, mutu pendidikan dilihat dari
jenjang produk seperti angka-angka. Dari segi efek adalah bagaimana pengaruh
dan perkembangan kepribadian peserta didik, sedangkan dampak adalah bagaimana
peserta didik berkontribusi terhadap lingkungannya setelah menjalani
pendidikan. Namun saat ini, hasil berupa produk seperti hasil UN lah yang
sering menjadi patokan. Padahal lanjut Surya, ukuran mutu pendidikan yang
cenderung bersifat memilah seperti yang terkandung dalam UN bertentangan dengan
pengertian pendidikan dalam UU Sisdiknas.
c. Sistem
kenaikan kelas dan kelulusan selama ini terlalu longgar. Penilaian cenderung
menggunakan pendekatan acuan norma (normatif
referenced), sehingga peserta didik
dan orang tua terbuai dengan keberhasilan semu berupa angka-angka. Memang
secara kuantitatif peserta didik banyak yang naik kelas dan lulus ujian, tetapi
secara kualitas standar pendidikan di Indonesia jauh ketinggalan dari
negara-negara berkembang lainnya. Sejak diterapkannya kurikulum 2004, maka
sistem penilaian menggunakan penilaian basis kelas classroom-based assesment) dengan pendekatan acuan patokan (criterion-referenced). Tentu banyak
peserta didik dan orang tua merasa terkejut, karena peserta didik harus
memiliki “nilai minimal” sebagai patokan atau kriteria kelulusan dari satuan
pendidikan tertentu. Setiap tahun kriteria minimal tersebut harus dinaikkan
oleh pemerintah. Permasalahannya adalah mengingat wilayah Indonesia memiliki
kondisi geografis yang berbeda, antara provinsi satu dengan yang lainnya
mempunyai daya serap kurikulum yang berbeda, maka perlu dicari alternatif lain
untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan tertentu.
d. Sebagai
dampak dari ketentuan “nilai minimal”, maka hampir setiap tahun dalam
pelaksanaan UN sering terjadi (a) kebocoran soal, artinya soal sudah diketahui
peserta didik sebelum UN dimulai, (b) keterlambatan sekolah menyerahkan atau
menyampaikan jawaban UN ke panitia atau ke Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Diduga lembar jawaban tersebut sedang diperbaiki oleh oknum guru (c) banyak
oknum kepala sekolah dan guru yang sengaja membantu peserta didik menjawab soal
UN melalui berbagai cara, seperti memberikan kunci jawaban melalui sms secara
berantai, menempelkan kunci jawaban di toilet dan sebagainya.
Hal ini memberikan
gambaran bahwa adanya perubahan atau pergeseran makna tentang penilaian atau ujian
itu sendiri. Seharusnya penilaian merupakan cermin kemampuan diri, tetapi
justru menjadi tujuan. Di samping itu, pada kelas akhir di setiap satuan
pendidikan terjadi perubahan orientasi proses pembelajaran. Setiap peserta
didik diarahkan untuk mengikuti latihan mengerjakan soal, try out, bimbingan khusus dengan guru, dan lain-lain dalam rangka
persiapan UN. Mungkin hal itu terjadi karena fungsi UN sangat mutlak, terutama
sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan penentuan
kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. Mengigat UN
sudah mempunyai landasan hukum yang kuat, maka kepada semua pihak yang terkait,
seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan peserta didik untuk mengarahkan
semua kegiatan pembelajaran dalam rangka pencapaian Standar Kompetensi Lulusan.
Berdasarkan
kritikan dan masukan dari masyarakat tentang UN dan memperhatikan pula program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka sejak tahun 2008/2009
dilaksanakan Ujian Akhir Sekolah Bertaraf Nasional (UAS-BN) untuk Sekolah Dasar
dan yang sederajat. Maksudnya, pembuatan soal dilakukan oleh guru-guru SD di
bawah bimbingan dan pengarahan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah serta BSNP.
Masalah
Ujian Nasional (UN) tiap tahun selalu ramai
dibicarakan, mulai dari persiapan siswa dengan berbagai bimbingan belajar,
orang tua dengan menyiapkan materi untuk
mendukung para putranya, pihak sekolah dengan berbagai penganyaan dan uji coba
UN, pemerintah dengan memberikan materi pokok UN. Masyarakat luas mengharapkan UN tidak dilaksanakan karena merugikan (jika
ada siswa yang tidak lulus, termasuk merugikan pihak sekolah karena banyak yang
tidak lulus).
Pemerintah
telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN sebagai salah satu bentuk evaluasi
pendidikan. UN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat
sekolah.
UN berfungsi
sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan
mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta
didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. UN merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar
pada akhir tahun pelajaran yang diterapkn pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap penting, walaupun masih ada perdebatan tentang mengapa mata pelajaran
itu yang penting dan apakah itu berarti yang lain tidak Masyarakat luas
mengharapkan UN tidak dilaksanakan karena merugikan (jika ada siswa yang tidak
lulus, termasuk merugikan pihak sekolah karena banyak yang tidak lulus).
Tentang
Ujian Nasional saya tetap berpendapat harus tetap dilaksanakan, untuk sekolah yang belum melaksanakan kurikulum 2013 hanya dalam
“rumus” kelulusan tidak harus seragam, tiap sekolah bisa memililih kriteria
pelulusan yang tepat. Kriteria “rumus” kelulusan
tersebut ditentukan oleh pemerintah (hal ini pernah dilakukan ketika Ebtanas
terakhir diberlakukan). Dalam hal kriteria kelulusan menyesuaikan karakteristik siswa setiap
daerah.
II. Pandangan
Mengenai Kebijakan Ujian Nasional
Dari
uraian mengenai Ujian Nasional berpendapat:
1.
Evaluasi sepenuhnya diserahkan
kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan
dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara
demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk
yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan,
dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu
sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah
berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi
persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti
dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada
UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya
kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya
dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes
masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih
dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya
disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya.
2.
Belajar seharusnya
menjadi proses yang menyenangkan dan menjadikan peserta didik senang belajar,
menciptakan suasana yang nyaman dan secara otomatis akan membangun mental
belajar yang baik yaitu sisi afektif, psikomotorik dan secara tidak langsung
sisi kognitifnya pun tercapai. Jadi, evaluasi yang digunakan sewajarnya dapat
merambah semua sisi dari peserta didik.
3.
Ujian Nasional dilaksanakan, hanya
dengan rumus kelulusan tidak harus sama (seragam), tiap sekolah bisa memililih
kriteria kelulusan yang tepat. Kriteria rumus kelulusan tersebut ditentukan
oleh pemerintah.
4.
Ujian Nasional dilaksanakan bukan
bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa,
tetapi dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya Ujian
Nasional tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui
perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai
Ujian Nasional haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya
berpengaruh pada kredibilitas sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.beritasatu.com/pendidikan/konvensi hanya legitimasi pertahankan ujian nasional.html, diunduh pada hari Sabtu, 2 November 2013 21.00
http:// awan sundiawan.wordpress.com/2010/01/13/Masalah Ujian Nasional (UN) Tiap Tahun
Tetap Ramai Dibicarakan
diunduh pada hari Sabtu, 14 Oktober 2013
http://mansatukendari.blogspot.com/2013/04/masalah un perlu kearifan bersama.html diunduh
pada hari Sabtu, 14 Oktober 2013
http://simercubuana.comli.com/ ujian nasional, diunduh pada hari Sabtu, 2 November
2013 21.00
http://www.majalahgontor.co.id/un 2011 solusi atau masalah baru, diunduh pada hari Sabtu 14 Okt 2013 18.51
http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/kontroversi-seputar-ujian-nasional-jalan-terus-atau-dihentikan /
diunduh pada hari sabtu 14 oktober 2013 19.05
Arifin, Zaenal. 2010. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik,
Prosedur.
Bandung: Rosdakarya.
Purwanto.
2010. Evaluasi Hasil Belajar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar